Gelombang Baru Digital Preneur Indonesia



oleh : A. Mohammad BS

(advertising)Akses Internet yang makin murah, teknologi gadget yang makin fungsional, dan maraknya penggunaan media sosial rupanya berdampak signifikan terhadap bermunculannya para digitalpreneur generasi baru yang lebih kreatif dibandingkan sebelumnya. 
Setelah era dotcom bubble, tampaknya information and communication technology/ICT Indonesia sedang memasuki babak baru yang lebih pragmatis. Terutama, dalam melihat peluang bisnis di dunia maya. Era konvergensi dan Web 2.0 semakin membuka peluang bagi lahir dan berkembangnya para digitalpreneur yang lebih kreatif dan inovatif.

Infrastruktur telekomunikasi yang kian memadai, serta semakin mudah dan murahnya akses Internet, turut memicu tumbuhnya wirausaha di bidang ICT. Bahkan, sukses situs pertemanan Facebook telah ikut mengilhami dan mendorong lahirnya generasi baru digitalpreneur. Maklum, seperti diketahui, pengguna Facebook di Indonesia sangat fenomenal. Saat ini, pengguna Facebook di negeri ini menempati urutan pertumbuhan tercepat kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Berdasarkan survei Inside Facebook yang dilakukan e-Marketer, jumlah pengguna Facebook di Indonesia naik sekitar 1.400.000 pengguna dalam sebulan terakhir. Pada 1 Desember 2009, e-Marketer mencatat Facebook memiliki 13.870.120 pengguna di Indonesia. Adapun pada 1 Januari 2010 sebesar 15.301.280 pengguna. Indonesia hanya satu peringkat di bawah AS yang mencatat kenaikan jumlah pengguna sebesar 4.576.220 pengguna dalam periode yang sama dari 98.105.020 menjadi 102.681.240 pengguna. Namun, persentase kenaikan jumlah pengguna Facebook di Indonesia mencapai dua kali lipat AS. Indonesia naik 10%, sedangkan AS hanya 5%. Kenaikan 10% termasuk pertumbuhan tertinggi di dunia.

Fenomena Facebook tersebut melahirkan entrepreneur TI generasi baru seperti Fajar Persada. Ia membuat animasi flash game. Menurutnya, dalam satu hari ada sekitar 10 ribu pengguna Facebook yang memakai satu flash game. Di bawah bendera Abigdev, kini Fajar telah meluncurkan 8 jenis game yang berbau edukasi, seperti Nusachallenge dan Angklung Heroes Game. Dan masih banyak lagi yg terdapat di dalamnya.

Seiring dengan makin murahnya layanan Internet, banyak pula entrepreneur yang fokus di dunia online dan Internet. Salah satunya, Brian Arfi, pendiri PernikMuslim.com dan PT DheZign Online Solution, perusahaan yang melayani jasa web development dan layanan online marketing.

Selain Facebook, ponsel cerdas BlackBerry juga mencatat prestasi pengguna yang fenomenal di Indonesia. Efek dominonya, bermunculan para pengembang aplikasi konten untuk BlackBerry. Sebut saja, Ronald Ishak yang mendirikan Domikado dan Kemal Arsjad yang mendirikan Better-B, sebagai perusahaan pengembang aplikasi dan konten untuk ponsel cerdas keluaran Research In Motion (RIM) itu.

Tentunya, kurang afdol berbicara tentang pengembang konten untuk ponsel cerdas tanpa menyebutkan nama Kendro Hendro. Boleh dibilang, sejauh ini Kendro merupakan salah satu entrepreneur yang cukup sukses menjadi pengembang aplikasi konten untuk vendor ponsel Nokia, lewat PT InTouch Innovative Indonesia. Salah satu produknya yang menonjol adalah fitur setting wizard yang dipakai di seluruh ponsel cerdas Nokia. Ia juga menggeluti bisnis mobile commerce lewat PT MORE Indonesia.

Digitalpreneur lain yang cukup bersinar di bisnis aplikasi mobile dan multimedia ini adalah Joseph Lumban Gaol. Melalui bendera bisnisnya PT Antar Mitra Prakarsa (m-STARS), kini Joseph memiliki beragam bisnis di bidang itu. Antara lain, mobile commerce (payment gateway) untuk 30 online merchant dan 2.000 agen pulsa online, mobile content untuk hampir seluruh operator telekomunikasi (kecuali Mobile-8), mobile advertising, portal musik (Popmaya.com), digital label (dr.m), dan 3D social media (LILO). Konon, hingga 2009 m-STARS mampu membukukan omset lebih dari Rp 20 miliar. “Kue bisnis di ICT besar sekali. Sedangkan kue yang kami makan masih sangat kecil,” ucap Joseph.

Selain Joseph, entrepreneur lain yang membidangi teknologi mobile provider adalah Elwin Aldririanto yang mendirikan PT Mobee Indonesia. Lalu, ada Ari Sudrajat dkk. yang mendirikan perusahaan content provider BrainCode. Saat ini, BrainCode sudah bekerja sama dengan Telkomsel, Indosat, XL, TelkomFlexi, Esia, 3 dan Smart.

Di kategori e-commerce, contoh entrepreneur yang cukup sukses adalah Heryanto Siatono, pemilik situs Bookjetty.com. Situs ini terhubung dengan toko buku Internet terbesar dunia Amazon.com, juga dengan 300 perpustakaan di 11 negara (antara lain, AS, Kanada, Australia, Selandia Baru, Singapura, Hong Kong dan Taiwan).

Semakin mudah dan murahnya akses Internet juga mendorong bermunculannya digitalpreneur kreatif di bidang pengembangan aplikasi game. Di antaranya, Oka Suganda, yang melalui Sangkuriang Studio mengembangkan bisnis game Nusantara Online. Oka dan timnya membuat game itu berbasis pada mesin game ANGEL (Another Game Engine Library) dan merupakan massively multiplayer online role playing game (bisa dimainkan ribuan orang secara simultan).

Tak kalah kreatif dari Oka dkk. di Bandung, Abdullah Alkaff dan Suhadi Lili pun mengembangkan aplikasi game yang tak umum, lebih tepatnya aplikasi simulasi online. Melalui bendera PT Infoglobal Auto Optima (IAO) yang berbasis di Surabaya, pengajar dan mantan mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu membuat aplikasi game untuk kepentingan militer dan pertahanan, pemetaan udara, maskapai penerbangan dan industri migas. Saat ini, seperti dikemukakan Khoirul Huda, Koordinator Board of Directors Infoglobal Group, beberapa perusahaan dan lembaga telah menggunakan aplikasi buatan IAO. Antara lain, PLN, Garuda Indonesia, Vico Indonesia, Total Finaelf (Kalimantan Timur), Exxon Mobil, Medco, BP Migas, Kangean Energy Indonesia, Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, TNI AL, Sesko AU, Kohanudnas, Departemen Pertahanan dan Bank Islam Brunei Darussalam. Awalnya, omset yang dibukukan IAO hanya Rp 10-20 juta, dan pada 2009 omsetnya sudah Rp 25 miliar.

Di kategori business software, fenomena kemunculan para entrepreneur TI tak kalah serunya. Di sini terdapat ratusan pengembang aplikasi. Menurut data Independent Software Vendor (ISV) binaan Microsoft, diperkirakan ada 500-an ISV lokal di Indonesia — 251 di antaranya bercokol di Jakarta. Hal yang sama dikemukakan lembaga riset internasional IDC: jumlah software house di Indonesia naik menjadi 500 unit tahun 2008, dengan jumlah pengembang profesional 71.600 orang. Jika dilihat dari jumlah total pengembang profesional di dunia yang sebesar 13,5 juta, Indonesia baru menyumbang 0,5%. Sumbangan terbesar dari India (10,5%), disusul AS (8,9%). Secara regional, wilayah Asia Pasifik penyumbang developer terbesar di dunia (29,2%), disusul kawasan Amerika Utara (21,7%).
Wirausaha yang sukses di bidang aplikasi bisnis ini antara lain G. Hidayat Tjokrodjojo dan Ryadi Darmazi, pendiri PT Realta Chakradarma. Salah satu produk software yang mereka kembangkan dan menjadi produk unggulan mereka adalah solusi R-hotel-S untuk dunia perhotelan. Software ini digunakan sedikitnya di 40 hotel. Nama lainnya adalah Indra Sosrojoyo, pendiri PT Andal Software yang membuat software akuntansi dan perpajakan dengan merek andalan Andal Kharisma. Lalu, ada Fadil Basymeleh, yang melalui PT Zahir Internasional menciptakan peranti lunak akuntansi dengan merek Zahir Accounting. Juga, Wiwie Haris, pendiri software house PT Mitrais di Bali. Aplikasi buatan Mitrais ini sudah dipasarkan di Malaysia, Australia dan negara-negara Afrika. Ada pula Happy Chandraleka dan Taufan Chandra Kusuma, yang mendirikan Digital Works. Aplikasi yang pernah dibuat Digital Works antara lain WinShalat, BuDarti (digital dictionary), Mata-mata (keylogger), Shandiyudha, Gamelan dan Layar Tancep.

“Lulusan” ISV binaan Microsoft yang cukup sukses mengembangkan kreasi sendiri adalah Andri Yadi. Melalui PT DyCode Cominfotech Development, Andri telah mengembangkan beberapa peranti lunak. Salah satunya, PortMan (Port Management System), yang telah digunakan beberapa pelabuhan swasta besar di Indonesia. Juga, Tonny Loekito dengan bendera bisnisnya PT Rent@soft, yang fokus di pengembangan peranti lunak untuk rumah sakit dan bank. Salah satu aplikasi andalannya adalah Rhinotones, sistem informasi berbasis web yang terintegrasi untuk rumah sakit.

Ada juga yang fokus di bisnis pengembangan aplikasi pendidikan. Salah satu contoh suksesnya adalah Hary Sudiyono Chandra melalui PT Pesona Edukasi. Aplikasi Pesona Edukasi ini telah dipasarkan ke 23 negara. Selain Hary, nama lainnya di bidang software pendidikan adalah Putu Sudiarta, pendiri PT Bamboomedia Cipta Persada.

Dan, sejalan dengan tumbuhnya semangat penerapan tata kelola pemerintahan yang baik (good corporate governance), peluang bagi pengembangan aplikasi e-Goverment (e-Gov) pun terbuka lebar. Salah satu wirausaha yang cermat menangkap peluang tersebut adalah Virgo Lazarus Pehulisa. Melalui PT Balerang Konsultindo Mandiri (BKM), Virgo mengembangkan berbagai aplikasi untuk kebutuhan e-Gov. “Saat ini, klien BKM mencakup sejumlah pemda, mulai dari Sumatera Utara hingga Papua,” kata Virgo.

Singkatnya, seiring dengan berbagai kemudahan dan fasilitas yang ada, semangat kewirausahaan di bidang ICT di Indonesia tumbuh cukup subur. Bahkan, kini hampir semua lini di industri ICT telah digeluti. Tumbuhnya para digitalpreneur ini tentunya diharapkan bisa berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Badan Telekomunikasi Dunia (ITU) menyebutkan, setiap 1% pertumbuhan dalam hal penetrasi ICT akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara sebesar 3%.

Karena itu, dukungan dari semua pihak, baik pemerintah maupun pihak perusahaan (vendor atau korporasi), sangat diharapkan bagi pertumbuhan bisnis para digitalpreneur tersebut. Salah satu vendor yang cukup punya perhatian terhadap pengembangan entrepreneurship adalah Microsoft. Menurut Irving Hutagalung, ISV Lead Developer and Platform Group Microsoft Indonesia, saat ini Microsoft punya dua program pengembangan entrepreneur TI, yakni BizSpark dan WebsiteSpark. BizSpark adalah program yang ditujukan bagi perusahaan pembuat software yang umur usahanya di bawah tiga tahun atau disebut start-up. Adapun WebsiteSpark merupakan program yang ditujukan untuk perusahaan pembuat website atau yang fokus pada bisnis pengembangan dan perancangan web yang jumlah karyawannya di bawah 10 orang. Selain syarat di atas, pendapatan tahunan calon peserta harus kurang dari US$ 500.000.

Bantuan yang diberikan Microsoft pada peserta program BizSpark dan WebsiteSpark berupa software, visibility dan pelatihan. Visibility di sini agar peserta program bisa terlihat oleh para pelanggan Microsoft. Misalnya, ketika Microsoft mengadakan pameran, akan disediakan booth bagi peserta program secara gratis dan mereka bisa ikut pameran, sehingga mereka bisa berkenalan dengan mitra jejaring Microsoft. Peserta program BizSpark dan WebsiteSpark akan dibina dan diberi bantuan selama tiga tahun. Sejauh ini sudah lebih dari 200 entrepreneur bergabung di kedua program itu.

Selain itu, Microsoft juga memiliki program BinaISV, yang ditujukan untuk mengembangkan ISV lokal di Indonesia. Dalam program yang berjalan sejak 2003 ini Microsoft akan memberikan visibility, pelatihan dan support, serta technology update. Sudah ada 210 peserta yang bergabung dalam program Bina ISV. Menurut Irving, sebagai perusahaan, Microsoft datang dengan dua misi: memperkenalkan teknologi dan menjual software. “Agar dua hal ini bisa berjalan berbarengan, kami perlu satu local software economy yang tinggi pertumbuhannya. Makin tingginya pertumbuhan di local software economy ini secara tidak langsung ada impact-nya ke Microsoft.”

Selain Microsoft, korporasi lokal yang mulai serius memberi perhatian dan dukungan terhadap perkembangan para digitalpreneur ini adalah PT Telkom. Seperti dikemukakan Widi Nugroho, Head of Digital Business PT Telkom, guna mendukung orang bisa berkarya terutama di bidang teknologi digital, Telkom membuat Indonesia Digital Community (Indigo). Tujuannya, untuk memfasilitasi dan mewadahi insan kreatif Indonesia dalam berkarya. Indigo punya banyak program, salah satunya Indigo Fellowship. “Indigo Fellowship menjaring ide-ide atau karya kreatif yang ada di masyarakat. Kami seleksi, kemudian akan difasilitasi dan dibina agar bisa sukses,” papar Widi.

Program ini baru mulai setahun lalu, dan berhasil menjaring 11 orang dari sekitar 400 peminat yang mendaftar. Mereka diberi fasilitas modal usaha sekitar Rp 50 juta. Selain itu, mereka juga diberi pembinaan seperti membuat business plan, cara memasarkan produk, serta diikutkan dalam seminar, pameran, dan kegiatan lain yang dapat mengembangkan bisnis mereka. “Harapannya, mereka bisa menjadi digitalpreneur sukses dan menjadi partner bisnis Telkom. Mereka punya kesempatan untuk bisa makin sukses,” katanya.

Peserta yang sedang digodok dalam program ini di antaranya pemilik suararadio.com, yaitu pengembang aplikasi e-broadcast untuk pengelola radio swasta. Ada juga ayofoto.com, komunitas online di bidang fotografi di mana orang bisa mem-posting foto di situ. Web ini bisa menjadi photo stock premium sehingga orang bisa beli foto lewat web ini.

Selain infrastruktur telekomunikasi yang memadai dan akses Internet yang semakin mudah, tumbuhnya para digitalpreneur itu, menurut pengamat dan praktisi TI Richard Kartawijaya, disebabkan beberapa faktor. Pertama, pasar yang tumbuh sangat pesat, baik lokal maupun luar negeri. Kedua, teknologi ICT berkembang pesat dan semakin kelihatan kegunaannya di berbagai bidang, bahkan masuk dalam bidang entertainment dan usaha. Ketiga, jumlah masyarakat yang mempunyai kemampuan menggunakan ICT semakin banyak. “Saat ini, ICT bukan lagi sekadar alat, tetapi menjadi enabler di semua bidang,” ucap Direktur Utama PT Informatika Solusi Bisnis itu.

Sementara itu, Richardus Eko Indrajit menilai bermunculannya ICT-preneur ini lantaran umumnya hanya membutuhkan modal relatif kecil. Selain itu, risikonya relatif kecil. Terlebih lagi, bisnis ini bisa selaras dengan hobi pribadi atau sekelompok orang. “It’s a nothing to lose business untuk mereka yang punya hobi dan passion di suatu bidang,” ujar pakar TI dari Asosiasi Perguruan Tinggi Ilmu Komputer itu.

Baik Richard maupun Eko sepakat bahwa ke depan masih terbuka sejumlah peluang yang bisa digarap di bisnis ICT ini. Antara lain, pemakaian multimedia di banyak bidang, terutama di bidang entertainment dan usaha. Misalnya, dalam wujud animasi, film (movie), desain grafis, iklan, musik dan konten entertainment. Juga, yang cukup potensial berkaitan dengan jasa ritel, seperti ticketing system, e-banking dan electronic payment.

Faktor-faktor Pendukung Perkembangan Digitalpreneur di Indonesia
• Berkembang pesatnya penggunaan ponsel.
• Berkembangnya situs Internet yang memberikan kemudahan bagi   
para pengembang untuk menjual aplikasinya (applet) ke konsumen
di seluruh dunia. Contohnya, Apple Store dan BlackBerry Apps World.
• Ketersediaan teknologi dan alat pembuatan peranti lunak sistem informasi.
• Biaya pemanfaatan ICT yang makin terjangkau,
termasuk biaya akses dari infrastruktur ICT dan biaya peranti keras/lunak.
• Ketersediaan tenaga pengembang lokal yang mumpuni.
• Struktur bisnis lokal yang mendukung pemakaian ICT secara intensif,
misalnya industri perbankan dan telekomunikasi.
• Dukungan pemerintah terhadap ICT.

Dikutip dari.: http://swa.co.id/2010/02/gelombang-baru-digitalpreneur-indonesia/
Read more

Cara Enzim Merebut Pasar


oleh : Taufik Hidayat



(Marketing)Walau tergolong cukup nekat, Enzim berhasil merebut sebagian pasar pasta gigi. Kuncinya: diferensiasi produk yang sangat jelas dan edukasi tiada henti.


Mungkin kita tidak pernah memperhatikan, dari sekian banyak fosil manusia purba yang ditemukan, tak satu pun yang mengalami kerusakan gigi. Padahal, manusia purba belum memiliki kebiasaan menyikat gigi. Bandingkan dengan manusia modern yang rajin menyikat gigi, tetapi sudah mengalami kerusakan gigi. Hal itulah yang mengundang rasa penasaran L. Alexander Agung dan mendorongnya untuk meneliti hal tersebut.


Dibantu pakar dari beberapa universitas ternama di Tanah Air, Alex serius melakukan penelitian. “Ternyata manusia sudah memiliki pelindung alami, yaitu air liur,” kata Alex. Dia menjelaskan, manusia purba selalu memakan makanan yang alami, sehingga air liur dapat bekerja secara maksimal dalam melindungi gigi. Hal ini berbeda dari manusia modern yang banyak mengonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia seperti pewarna, pengawet dan pestisida yang merusak kualitas air liur.


Yang lebih mengejutkan lagi, berdasarkan penelitiannya, ternyata detergen yang banyak digunakan pada pasta gigi termasuk salah satu zat yang merusak sistem pertahanan alami dalam mulut yang disebut Laktoperoksidase (LP-sistem). LP-sistem merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme yang secara alami terdapat dalam rongga mulut. Di dalam rongga mulut terdapat 40-50 protein yang bisa membantu mencegah berkembangnya kuman-kuman penyakit di dalam rongga mulut. “Jika sistem pertahanan dalam rongga mulut ini dirusak oleh hal-hal tadi, boleh jadi orang akan terkena radang gusi, sariawan dan bau mulut,” katanya.


Berdasar pada temuan tersebut, Alex memberanikan diri meluncurkan produk pasta gigi dengan diferensiasi utama tanpa detergen. Alex mengatakan, langkahnya tergolong sangat nekat. Pasalnya, pasar pasta gigi tergolong sudah sangat mature. “Penetrasinya hampir 100%,” ungkapnya. Tambah lagi di kategori produk ini ada raksasa yang sudah sangat kuat mencengkeram pasar.


Alex pun menyadari sebelumnya hampir tidak ada pemain yang berhasil menggoyang dominasi sang raja. Bahkan, perusahaan yang skalanya jauh lebih besar dari perusahaannya saja tidak mampu berbuat banyak kala menggarap kategori ini. “Saya sadar, peluang keberhasilan saya hanya 0,1%. 99,9% bakal gagal,” ujarnya.


Namun, Alex tetap bergeming. Tahun 1991, di bawah bendera PT Enzym Bioteknologi Internusa (EBI), ia nekat meluncurkan pasta gigi yang diberi merek Enzim tersebut. “Kami sangat percaya akan kekuatan produk ini,” katanya tegas.


Karena tidak mengandung detergen, menurutnya, Enzim dapat berfungsi sebagai salah satu solusi untuk merehabilitasi sel-sel air liur yang telah dirusak oleh bahan-bahan kimia. Pasta gigi Enzim dibuat tidak hanya untuk membersihkan gigi, tetapi juga untuk membersihkan rongga mulut dan mengembalikan fungsi air liur.


Akan tetapi, belum apa-apa, EBI sudah mendapat kendala. “Awalnya, tidak ada distributor yang mau mendistribusikan produk ini,” ujar Alex mengenang. Menurutnya, hal itu tergolong sangat wajar. Pasalnya, Enzim mengusung strategi yang tergolong antitesis. Pertama, diferensiasi Enzim (tanpa detergen) membuat produk ini menjadi terasing. Pasalnya, semua produk pasta gigi lainnya menggunakan detergen dan konsumen pun sangat terbiasa dengan produk tersebut. “Mitos yang berkembang adalah, kalau gosok gigi tidak ada busanya, berarti tidak bersih,” ujarnya.


Kedua, harga yang dipatok Enzim di atas pemain-pemain lain. Perbedaannya pun sangat signifikan, mencapai 3-4 kali lipat. “Orang bilang kami gila, pemain baru dan merek lokal, tapi harganya mahal,” ujarnya.


Strategi harga tersebut memang sengaja ditempuh EBI. Pasalnya, ongkos produksi dan bahan bakunya memang lebih mahal dibanding pasta gigi lain. “Tidak selamanya produk lokal harus lebih murah dari produk internasional. Kalau mutunya jauh lebih bagus, apakah juga harus dijual lebih murah?” kata Alex seraya menyebutkan, saat ini harga produknya Rp 23.000-88.000.


Karena harganya lebih mahal, EBI pun membidik target pasar yang lebih spesifik. “Kami tidak menyasar semua segmen. Kami fokus di segmen menengah-atas,” ujarnya. Karena itu, pada tahap awal EBI pun mendistribusikan produknya di kawasan yang banyak dihuni kalangan menengah-atas. “Daerah pertama yang kami jajaki adalah wilayah Jakarta Selatan.”


Tanpa pengalaman distribusi yang memadai, strategi tersebut tidak berjalan mulus. EBI pun mempersempit fokus wilayah garapannya. “Kami menggarap per kelurahan. Kalau sudah cukup baik di satu kelurahan, baru pindah ke kelurahan lainnya,” ungkapnya. Dan di setiap gerai yang menjual Enzim, EBI acap kali menggelar event untuk mengedukasi konsumen secara langsung.


Walau fokus wilayah garapannya sudah dipersempit, penjualan Enzim masih belum juga terdongkrak. Beberapa gerai bahkan sudah enggan menjual produk ini. Maka, EBI melakukan langkah yang sedikit “licik”. “Kami melakukan buy back. Tujuannya, agar toko merasa bahwa produk itu ‘berputar’ dan mereka tetap mau menjualnya,” ungkap Alex.


Diakuinya, strategi buy back tersebut memang membuat perusahaannya semakin berdarah-darah. Namun, Alex tetap bertahan. “Produk seperti ini memang harus rugi dulu.”


Upaya edukasi terus dilakukan. Tidak hanya konsumen akhir, tetapi para dokter gigi dan kalangan akademisi pun tak luput dari incaran EBI. Alex sendiri acap kali menjadi dosen tamu di fakultas kedokteran gigi di berbagai universitas di Indonesia. Tujuannya, tak lain, untuk menyosialisasi hasil penelitiannya sekaligus memperkenalkan produknya.


Pelan tetapi pasti, penjualan Enzim mulai menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Upaya edukasi pun semakin digenjot. “Event yang kami lakukan di outlet terus ditambah frekuensinya,” ungkap Alex yang juga menerbitkan Enzim untuk anak-anak. Enzim anak-anak, dikatakannya, sekaligus sebagai upaya edukasi sedari dini. Ini juga terkait dengan strategi EBI yang hampir 100% mengandalkan aktivitas below the line. Maklum, keterbatasan anggaran membuat perusahaan ini seperti alergi dengan komunikasi above the line.


Dengan banyak menggelar kegiatan BTL, Alex berharap tidak hanya membuat konsumen teredukasi, tetapi juga menciptakan word of mouth. “Ternyata, cukup berhasil.”


Menurut Alex, memasuki milenium baru (tahun 2000-an), penjualan Enzim semakin membaik. “Sejak awal, setiap tahun penjualan kami memang selalu tumbuh. Tapi sejak tahun 2000 pertumbuhannya mulai signifikan,” ungkapnya. Distribusi Enzim pun semakin meluas ke hampir seluruh wilayah Indonesia, khususnya di kota-kota besar.


EBI juga tak lagi mendistribusikan sendiri produknya. “Distributor mulai bersedia mendistribusikan produk kami,” ujar Alex tanpa bersedia menyebut nama perusahaan distribusinya. Saat ini ada dua perusahaan distribusi yang menyalurkan produk Enzim. Namun, kedua distributor tersebut menyasar pasar yang berbeda, yaitu pasar produk konsumer dan pasar medis.


Semakin meluasnya distribusi produk membuat EBI mulai merasa perlu melakukan komunikasi above the line, khususnya iklan di televisi. Namun, sekali lagi, karena bujet yang terbatas, komunikasi ATL Enzim amat terbatas. “Kami hanya tampil di Metro TV dan TV One,” kata Alex.


Tak berhenti sampai di situ, sejak 2007 EBI pun menempun strategi baru dalam upaya mengedukasi konsumen, yaitu dengan menggelar kegiatan factory visit. Setiap hari, mereka mendatangkan rombongan dari berbagai wilayah di sekitar Jakarta dan Jawa Barat (bahkan sampai Lampung) untuk mengunjungi pabriknya yang berlokasi di Cimanggis. “Kami menyediakan bus dan makan siang,” kata Alex.


Di pabrik, para peserta factory visit akan mendapat berbagai pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan mulut. “Setiap hari, dari Senin sampai Jumat selalu ada rombongan yang datang,” ujarnya seraya menambahkan, setiap rombongan harus berjumlah minimal 50 orang.


Menurut pakar pemasaran dari Direction Consulting, Jahja B. Soenarjo, strategi factory visit yang digelar EBI kurang tepat. “Enzim itu bukan produk makanan. Kalau produk makanan, memang perlu, untuk menunjukkan bahwa pembuatan produknya higienis,” ujarnya. Jahja berpendapat, akan lebih efektif jika EBI memberikan sampel dan menggunakan testimoni para pakar di bidang kesehatan gigi untuk meyakinkan konsumen.


Untuk meraih pasar, tambah Jahja, memang tak ada cara lain bagi EBI selain mengedukasi pasar. Dan, upaya edukasi itu menurutnya harus terus dilakukan. “Butuh napas panjang memang.”


Selain itu, Jahja juga menyebut bahwa faktor lain yang juga sangat berpengaruh adalah pemilihan channel. Karena harga yang dipatok Enzim tergolong cukup tinggi, gerai yang memasarkannya pun harus dipilih dengan benar. EBI, menurutnya, tidak harus membidik semua jenis gerai untuk memasarkan produk ini. “Pasar yang mereka bidik tidak besar, jadi outlet-nya pun harus dipilih dengan benar. EBI harus tahu habit belanja target pasarnya.”


Alex sependapat dengan Jahja. Walau saat ini distribusi produknya sudah mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia, jumlah gerai yang memasarkan produk ini tidaklah terlalu banyak. “Kami lebih banyak masuk ke modern market.”


Berkembangnya pasar juga diantisipasi EBI dengan terus berinovasi. Awalnya mereka hanya mengandalkan dua varian produk, sedangkan kini mereka sudah memiliki lima varian, termasuk orthodontic untuk orang yang menggunakan kawat orthodontic dan pasta gigi untuk anak-anak.


Menurut Alex, yang pernah menjadi produser film pada 1970-an, pasta gigi Enzim kini sudah diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Terbukti, dalam beberapa tahun terakhir rata-rata Enzim berhasil meraih pertumbuhan penjualan hingga 30%. Bahkan, produk ini mulai merambah pasar luar negeri, walau baru di Taiwan saja. “Harga di Taiwan lebih tinggi lagi dan tercatat sebagai pasta gigi termahal di dunia,” ungkapnya.


Ke depan, Enzim akan tetap fokus dalam menggarap segmen pasar yang digelutinya saat ini. “Saya memang bercita-cita membuat gigi semua orang Indonesia sehat, ” ujarnya, “Tapi, dengan harga yang seperti ini, rasanya masih sulit membidik pasar yang lebih luas.” ***




dikutip dari: http://swa.co.id/2009/12/cara-enzim-merebut-pasar/
Read more