Cara Enzim Merebut Pasar


oleh : Taufik Hidayat



(Marketing)Walau tergolong cukup nekat, Enzim berhasil merebut sebagian pasar pasta gigi. Kuncinya: diferensiasi produk yang sangat jelas dan edukasi tiada henti.


Mungkin kita tidak pernah memperhatikan, dari sekian banyak fosil manusia purba yang ditemukan, tak satu pun yang mengalami kerusakan gigi. Padahal, manusia purba belum memiliki kebiasaan menyikat gigi. Bandingkan dengan manusia modern yang rajin menyikat gigi, tetapi sudah mengalami kerusakan gigi. Hal itulah yang mengundang rasa penasaran L. Alexander Agung dan mendorongnya untuk meneliti hal tersebut.


Dibantu pakar dari beberapa universitas ternama di Tanah Air, Alex serius melakukan penelitian. “Ternyata manusia sudah memiliki pelindung alami, yaitu air liur,” kata Alex. Dia menjelaskan, manusia purba selalu memakan makanan yang alami, sehingga air liur dapat bekerja secara maksimal dalam melindungi gigi. Hal ini berbeda dari manusia modern yang banyak mengonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia seperti pewarna, pengawet dan pestisida yang merusak kualitas air liur.


Yang lebih mengejutkan lagi, berdasarkan penelitiannya, ternyata detergen yang banyak digunakan pada pasta gigi termasuk salah satu zat yang merusak sistem pertahanan alami dalam mulut yang disebut Laktoperoksidase (LP-sistem). LP-sistem merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme yang secara alami terdapat dalam rongga mulut. Di dalam rongga mulut terdapat 40-50 protein yang bisa membantu mencegah berkembangnya kuman-kuman penyakit di dalam rongga mulut. “Jika sistem pertahanan dalam rongga mulut ini dirusak oleh hal-hal tadi, boleh jadi orang akan terkena radang gusi, sariawan dan bau mulut,” katanya.


Berdasar pada temuan tersebut, Alex memberanikan diri meluncurkan produk pasta gigi dengan diferensiasi utama tanpa detergen. Alex mengatakan, langkahnya tergolong sangat nekat. Pasalnya, pasar pasta gigi tergolong sudah sangat mature. “Penetrasinya hampir 100%,” ungkapnya. Tambah lagi di kategori produk ini ada raksasa yang sudah sangat kuat mencengkeram pasar.


Alex pun menyadari sebelumnya hampir tidak ada pemain yang berhasil menggoyang dominasi sang raja. Bahkan, perusahaan yang skalanya jauh lebih besar dari perusahaannya saja tidak mampu berbuat banyak kala menggarap kategori ini. “Saya sadar, peluang keberhasilan saya hanya 0,1%. 99,9% bakal gagal,” ujarnya.


Namun, Alex tetap bergeming. Tahun 1991, di bawah bendera PT Enzym Bioteknologi Internusa (EBI), ia nekat meluncurkan pasta gigi yang diberi merek Enzim tersebut. “Kami sangat percaya akan kekuatan produk ini,” katanya tegas.


Karena tidak mengandung detergen, menurutnya, Enzim dapat berfungsi sebagai salah satu solusi untuk merehabilitasi sel-sel air liur yang telah dirusak oleh bahan-bahan kimia. Pasta gigi Enzim dibuat tidak hanya untuk membersihkan gigi, tetapi juga untuk membersihkan rongga mulut dan mengembalikan fungsi air liur.


Akan tetapi, belum apa-apa, EBI sudah mendapat kendala. “Awalnya, tidak ada distributor yang mau mendistribusikan produk ini,” ujar Alex mengenang. Menurutnya, hal itu tergolong sangat wajar. Pasalnya, Enzim mengusung strategi yang tergolong antitesis. Pertama, diferensiasi Enzim (tanpa detergen) membuat produk ini menjadi terasing. Pasalnya, semua produk pasta gigi lainnya menggunakan detergen dan konsumen pun sangat terbiasa dengan produk tersebut. “Mitos yang berkembang adalah, kalau gosok gigi tidak ada busanya, berarti tidak bersih,” ujarnya.


Kedua, harga yang dipatok Enzim di atas pemain-pemain lain. Perbedaannya pun sangat signifikan, mencapai 3-4 kali lipat. “Orang bilang kami gila, pemain baru dan merek lokal, tapi harganya mahal,” ujarnya.


Strategi harga tersebut memang sengaja ditempuh EBI. Pasalnya, ongkos produksi dan bahan bakunya memang lebih mahal dibanding pasta gigi lain. “Tidak selamanya produk lokal harus lebih murah dari produk internasional. Kalau mutunya jauh lebih bagus, apakah juga harus dijual lebih murah?” kata Alex seraya menyebutkan, saat ini harga produknya Rp 23.000-88.000.


Karena harganya lebih mahal, EBI pun membidik target pasar yang lebih spesifik. “Kami tidak menyasar semua segmen. Kami fokus di segmen menengah-atas,” ujarnya. Karena itu, pada tahap awal EBI pun mendistribusikan produknya di kawasan yang banyak dihuni kalangan menengah-atas. “Daerah pertama yang kami jajaki adalah wilayah Jakarta Selatan.”


Tanpa pengalaman distribusi yang memadai, strategi tersebut tidak berjalan mulus. EBI pun mempersempit fokus wilayah garapannya. “Kami menggarap per kelurahan. Kalau sudah cukup baik di satu kelurahan, baru pindah ke kelurahan lainnya,” ungkapnya. Dan di setiap gerai yang menjual Enzim, EBI acap kali menggelar event untuk mengedukasi konsumen secara langsung.


Walau fokus wilayah garapannya sudah dipersempit, penjualan Enzim masih belum juga terdongkrak. Beberapa gerai bahkan sudah enggan menjual produk ini. Maka, EBI melakukan langkah yang sedikit “licik”. “Kami melakukan buy back. Tujuannya, agar toko merasa bahwa produk itu ‘berputar’ dan mereka tetap mau menjualnya,” ungkap Alex.


Diakuinya, strategi buy back tersebut memang membuat perusahaannya semakin berdarah-darah. Namun, Alex tetap bertahan. “Produk seperti ini memang harus rugi dulu.”


Upaya edukasi terus dilakukan. Tidak hanya konsumen akhir, tetapi para dokter gigi dan kalangan akademisi pun tak luput dari incaran EBI. Alex sendiri acap kali menjadi dosen tamu di fakultas kedokteran gigi di berbagai universitas di Indonesia. Tujuannya, tak lain, untuk menyosialisasi hasil penelitiannya sekaligus memperkenalkan produknya.


Pelan tetapi pasti, penjualan Enzim mulai menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Upaya edukasi pun semakin digenjot. “Event yang kami lakukan di outlet terus ditambah frekuensinya,” ungkap Alex yang juga menerbitkan Enzim untuk anak-anak. Enzim anak-anak, dikatakannya, sekaligus sebagai upaya edukasi sedari dini. Ini juga terkait dengan strategi EBI yang hampir 100% mengandalkan aktivitas below the line. Maklum, keterbatasan anggaran membuat perusahaan ini seperti alergi dengan komunikasi above the line.


Dengan banyak menggelar kegiatan BTL, Alex berharap tidak hanya membuat konsumen teredukasi, tetapi juga menciptakan word of mouth. “Ternyata, cukup berhasil.”


Menurut Alex, memasuki milenium baru (tahun 2000-an), penjualan Enzim semakin membaik. “Sejak awal, setiap tahun penjualan kami memang selalu tumbuh. Tapi sejak tahun 2000 pertumbuhannya mulai signifikan,” ungkapnya. Distribusi Enzim pun semakin meluas ke hampir seluruh wilayah Indonesia, khususnya di kota-kota besar.


EBI juga tak lagi mendistribusikan sendiri produknya. “Distributor mulai bersedia mendistribusikan produk kami,” ujar Alex tanpa bersedia menyebut nama perusahaan distribusinya. Saat ini ada dua perusahaan distribusi yang menyalurkan produk Enzim. Namun, kedua distributor tersebut menyasar pasar yang berbeda, yaitu pasar produk konsumer dan pasar medis.


Semakin meluasnya distribusi produk membuat EBI mulai merasa perlu melakukan komunikasi above the line, khususnya iklan di televisi. Namun, sekali lagi, karena bujet yang terbatas, komunikasi ATL Enzim amat terbatas. “Kami hanya tampil di Metro TV dan TV One,” kata Alex.


Tak berhenti sampai di situ, sejak 2007 EBI pun menempun strategi baru dalam upaya mengedukasi konsumen, yaitu dengan menggelar kegiatan factory visit. Setiap hari, mereka mendatangkan rombongan dari berbagai wilayah di sekitar Jakarta dan Jawa Barat (bahkan sampai Lampung) untuk mengunjungi pabriknya yang berlokasi di Cimanggis. “Kami menyediakan bus dan makan siang,” kata Alex.


Di pabrik, para peserta factory visit akan mendapat berbagai pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan mulut. “Setiap hari, dari Senin sampai Jumat selalu ada rombongan yang datang,” ujarnya seraya menambahkan, setiap rombongan harus berjumlah minimal 50 orang.


Menurut pakar pemasaran dari Direction Consulting, Jahja B. Soenarjo, strategi factory visit yang digelar EBI kurang tepat. “Enzim itu bukan produk makanan. Kalau produk makanan, memang perlu, untuk menunjukkan bahwa pembuatan produknya higienis,” ujarnya. Jahja berpendapat, akan lebih efektif jika EBI memberikan sampel dan menggunakan testimoni para pakar di bidang kesehatan gigi untuk meyakinkan konsumen.


Untuk meraih pasar, tambah Jahja, memang tak ada cara lain bagi EBI selain mengedukasi pasar. Dan, upaya edukasi itu menurutnya harus terus dilakukan. “Butuh napas panjang memang.”


Selain itu, Jahja juga menyebut bahwa faktor lain yang juga sangat berpengaruh adalah pemilihan channel. Karena harga yang dipatok Enzim tergolong cukup tinggi, gerai yang memasarkannya pun harus dipilih dengan benar. EBI, menurutnya, tidak harus membidik semua jenis gerai untuk memasarkan produk ini. “Pasar yang mereka bidik tidak besar, jadi outlet-nya pun harus dipilih dengan benar. EBI harus tahu habit belanja target pasarnya.”


Alex sependapat dengan Jahja. Walau saat ini distribusi produknya sudah mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia, jumlah gerai yang memasarkan produk ini tidaklah terlalu banyak. “Kami lebih banyak masuk ke modern market.”


Berkembangnya pasar juga diantisipasi EBI dengan terus berinovasi. Awalnya mereka hanya mengandalkan dua varian produk, sedangkan kini mereka sudah memiliki lima varian, termasuk orthodontic untuk orang yang menggunakan kawat orthodontic dan pasta gigi untuk anak-anak.


Menurut Alex, yang pernah menjadi produser film pada 1970-an, pasta gigi Enzim kini sudah diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Terbukti, dalam beberapa tahun terakhir rata-rata Enzim berhasil meraih pertumbuhan penjualan hingga 30%. Bahkan, produk ini mulai merambah pasar luar negeri, walau baru di Taiwan saja. “Harga di Taiwan lebih tinggi lagi dan tercatat sebagai pasta gigi termahal di dunia,” ungkapnya.


Ke depan, Enzim akan tetap fokus dalam menggarap segmen pasar yang digelutinya saat ini. “Saya memang bercita-cita membuat gigi semua orang Indonesia sehat, ” ujarnya, “Tapi, dengan harga yang seperti ini, rasanya masih sulit membidik pasar yang lebih luas.” ***




dikutip dari: http://swa.co.id/2009/12/cara-enzim-merebut-pasar/

0 comments:

Posting Komentar