Pemanfaatan Facebook Page untuk Membangun Brand


(Marketing)Tahun-tahun kemarin, banyak sekali brand aktif membangun microsite. Dengan nama domain baru yang umumnya mengikuti nama program kampanyenya, brand membangun awareness-nya melalui situs yang sifatnya temporer. Umumnya fitur situsnya lengkap dengan game berhadiah, untuk memancing banyaknya pengunjung. Sekarang saat orang ramai bergabung dan bermain di dalam Facebook, masihkah relevan brand membangun sebuah microsite?

Jawabannya, tergantung dari tujuan membangun microsite itu sendiri. Kalau memang perlu mengeksposur brand ke konsumen, dan memberikan pemahaman tentang brand kepada konsumen, tentu microsite masih diperlukan. Namun, kalau tujuan membangun microsite itu adalah untuk membangun komunitas, maka lupakan membangun microsite, karena keberhasilannya akan kecil. Daripada bersusah payah mendatangkan orang untuk bergabung dalam komunitas sebuah microsite, kenapa tidak berpikir terbalik? Mengapa tidak microsite yang datang kepada komunitas?

Facebook Page menjadi salah satu alternatifnya. Yang membedakan fitur ini dengan fitur Facebook lainnya adalah, kita tidak perlu menjadi anggota Facebook untuk melihat kontennya. Semua halaman Facebook Page terindeks oleh Google, seperti situs-situs umum lainnya. Facebook Page memang didesain untuk publik, dan tidak terikat unsur privacy seperti Facebook Profile dan Facebook Groups. Facebook Page bebas dipakai untuk kebutuhan komersial, jadi brand apapun boleh memanfaatkannya.

Anggota Facebook yang tertarik dengan halaman tersebut bisa menjadi fan-nya. Meski menjadi fan dari sebuah Facebook Page, bukan berarti si pemilik halaman lalu bisa mengakses data pribadi para fan ya. Pengelola Facebook tentunya sangat berhati-hati akan hal ini.

Lalu apa saja fitur Facebook Page yang bisa dimanfaatkan oleh brand?
  • The Wall, standar fitur komentar yang dipakai oleh Facebook.
  • Discussion Board, forum diskusi sederhana. Jadi ingat, dulu ada beberapa brand mencoba membangun forum di microsite-nya tapi kenyataanya sepi pengunjung.
  • Notes, semacam mini blog, yang bisa diadaptasi untuk penyampaian berita dan liputan.
  • Events, kalau brand punya kegiatan offline, manfaatkan fitur ini untuk mengingatkan para fan-nya.
  • Photos, berupa galeri foto yang bisa dikirimkan oleh pemilik halaman, maupun para fan.
  • Video, berupa galeri video yang bisa dikirimkan oleh pemilik halaman, maupun para fan.
  • Flash Player, dimana pemilik halaman bisa memasang file Flash, misalnya memasang advergame.
  • Music Player, bila pemilik halaman adalah artis, ia bisa memasang track lagunya di sini.
  • Reviews, berupa fasilitas review untuk promosi film.
  • Static FBML, untuk hal-hal lainnya, misalnya brand ingin menaruh tautan unduhan wallpaper, atau bentuk halaman statis lainnya.
  • Masih kurang puas? Bisa manfaatkan aplikasi pihak ketiga yang sudah ada dan siap pasang. Kalau masih belum puas juga, bisa juga membuat aplikasi Facebook sendiri yang bisa dipasang di Facebook Page.



Meski fitur Facebook Page lengkap, bukan berarti keberadaan microsite menjadi hilang. Ada batasan-batasan tertentu dalam melakukan branding Facebook Page. Kita hanya bisa mendesain sebatas yang diberikan oleh aturan Facebook. Jelas Facebook juga nggak ingin branding-nya hilang, seperti profil-profil anggota di Friendster atau MySpace yang terlihat berantakan tata letaknya.

Tidak semua kampanye online juga cocok dilakukan dengan Facebook Page, karena ada batasan fleksibilitas, dibandingkan kita membuatnya sendiri di situs terpisah. Namun yang bisa kita lakukan adalah membuatnya agar saling melengkapi. Bisa jadi Facebook Page ini menjadi salah satu gerbang masuk ke microsite. Facebook Page menjadi kendaraan awareness awal untuk mereka yang menjadi anggota Facebook. Saat mereka tertarik dengan info di Facebook Page, bisa jadi mereka akan langsung mendatangi microsite untuk membaca info atau berinteraksi yang lebih detil di sana.


dikutip dari>> http://media-ide.bajingloncat.com/2009/02/08/pemanfaatan-facebook-page-untuk-membangun-brand/

Read more

Merangkul Blogger untuk Promosi Brand


Beberapa bulan lalu Toyota-Astra Motor mengundang beberapa blogger untuk menghadiri launch Corolla Altis. Blogger (mungkin) dianggap bisa menyuarakan secara lebih personal apa yang dialaminya. Tentunya dengan harapan para pembaca blog tersebut ikut tahu dan tertarik dengan apa yang disampaikan blogger tersebut.

Tren ini ternyata terus berlanjut. Belum sebulan berlalu, sudah ada 2 event berbeda yang turut mengundang blogger. Konferensi pers yang dilakukan Pond’s kala peluncuran iklan berseri Bunga Citra Lestari ikut pula mengundang beberapa blogger sosialita (baca: gaul). Tak berapa lama kemudian, Sunsilk dengan Krisdayanti mengundang blogger yang sama untuk datang pada peluncuran buku “Hidup Tak Bisa Menunggu.”

Semua penyelenggara event ini berharap para blogger mau menuliskannya dengan sukarela di blog masing-masing. Tentunya dengan cara pandang masing-masing blogger. Terserah apakah tulisan itu bernada positif atau negatif, semua dikembalikan ke setiap blogger. Bahkan, kalau pun tidak ada blogger yang menuliskan pengalamannya, mereka pun tidak akan memaksa.

Bentuk lain namun dengan harapan hasil yang relatif sama adalah dengan meminta para blogger menuliskan advertorial di blognya. Blogger dibayar untuk melakukan review untuk suatu produk atau program promo yang diselenggarakan oleh brand. Produk atau detil program promo dikirimkan kepada para blogger, yang lalu diminta untuk menuliskan pengalamannya melalui sebuah tulisan di blog. Tentunya, isi tulisan dibebaskan. Terserah cara pandang dan pengalaman masing-masing blogger.

Semua kegiatan promo dalam blog itu punya tujuan serupa, yakni membangun buzz atau word of mouth. Semakin banyak blogger yang menuliskan hal tersebut, semakin ramai topik itu diperbincangkan dalam blogosphere. Semakin ramai diperbincangkan, brand yang dibicarakan pun menjadi semakin populer. Selanjutnya, tinggal kelihaian dari brand sendiri (atau agency komunikasi yang mewakilinya) untuk ikut aktif berbicara di dalam setiap blog tersebut, sehingga percakapan bisa terus terjadi secara positif.

Seperti yang diungkapkan oleh Hermawan Kartajaya di tulisan terbarunya tentang New Wave Marketing, promosi satu arah seperti yang dilakukan melalui TV, radio, ataupun media cetak, sudah tidak cukup lagi. Konsumen tidak mudah percaya begitu saja apa kata brand. “Kebenaran” yang ada tidak lagi dari sisi brand saja. Mereka lebih percaya bila “kebenaran” itu terjadi melalui percakapan yang setara antara pihak brand dan konsumennya.

Apa yang dituliskan seorang blogger seakan-akan bisa mengklarifikasi keraguan konsumen. Konsumen menjadi lebih percaya akan brand tersebut karena sudah ada orang lain yang mentestimonikan pengalamannya.

Sekarang pertanyaannya, apakah benar para blogger ini bisa memberikan dampak positif seperti yang diekspektasikan oleh brand? Apakah proses percakapan antara brand dan konsumen benar-benar terjadi?

Berdasarkan pengamatan dari beberapa komentar di blog seputar liputan atau advertorial, ternyata brand belum memanfaatkannya secara maksimal. Mereka masih berdiam pasif memantau setiap komentar, tanpa bertindak memelihara percakapan. Blog sepertinya masih dianggap hanya sebatas media semata. Sepanjang blogger sudah menuliskan pengalamannya, sudah dianggap cukup. Isi komentar dan balasannya masih belum terlalu dipedulikan.


Dikutip dari>>  http://media-ide.bajingloncat.com/2008/11/18/merangkul-blogger-untuk-promosi-brand/

Read more

Brand Jangan Bermain-main di Social Media


November 18, 2009
Oleh Nukman Luthfie

(marketing)Beberapa bulan terakhir ini saya bertemu dengan banyak Brand Manager dan Marketing Manajer, atau PR Manager, yang tertarik memasukkan produk/brandnya ke social media, entah ke Facebook maupun ke Twitter. Kesan saya mereka amat sangat (ya amat sangat) ingin eksis di social media, entah karena terpukau oleh konsep Low Cost High Impact atau memang sadar marketing. Namun pada saat yang sama mereka tidak memahami konsekwensinya, baik dari sisi manajemen, budgeting maupun peluang berhasilnya.

Saya akan kupas satu per satu.

Pertama, soal manajemen.

Social media adalah medium komunikasi, yang bukan hanya dua arah, antara konsumen dan produsen, tetapi multi arah, sebuah komunikasi horizontal yang “kacau-balau” antarkonsumen, antarkosumen-produsen. Jenis komunikasi seperti ini sangat jarang dirasakan dan dialami oleh brand manager yang hanya terbiasa dengan komunikasi satu arah (produsen ke konsumen) dan dua arah (antarkonsumen-produsen). Komunikasi searah dan dua arah relatif mudah dikendalikan arahnya.

Namun komunikasi multiarah, yang melibatkan konsumen dengan konsumen nyaris tidak bisa dikendalikan yang bisa berpotensi merusak brand, atau sebaliknya: justru meningkatkan nilai brand. Itu sebabnya, banyak Brand Manager, Marketing Manager, PR Manager yang terkaget-kaget dengan komunikasi ini.

Siapkan manajemen dengan komunikasi multiarah ini? Faktanya, kebanyakan tidak siap. Terbukti dari keenganan perusahaan untuk investasi SDM khusus dan/atau alihdaya untuk mengelola social media.

Kedua, soal budgeting.

Mereka yang terbius dengan konsep Low Cost High Impact akan beranggapan bahwa pemasaran lewat social media itu murah meriah sekaligus memberikan hasil yang besar. Barangkali mereka lupa bahwa yang disebut “low cost” itu relatif terhadap marketing tradisional via iklan TV dan media konvensional lain. Bukan sekadar asal low cost.

Budget eksis di social media, memang terkesan murah. Pertama, eksis di Facebook dan Twitter boleh dibilang gratis. Kita dapat membuat akun Facebook (termasuk Fanpages-nya) tanpa biaya. Demikian pula di Twitter dan social media lain. Budget promosi di social media pun relatif rendah karena iklannya targeted, hanya menembak target audience yang kita sasar saja.

Namun jangan lupa, masuk ke social media pun butuh strategi, yang tentu saja punya nilai Rupiahnya. Belum lagi, perlu SDM yang cukup, yang paham social media dan komunikasi online, sehingga dapat mengelola eksistensi brand di social media selama 24 jam sehari, dan tujuh hari sepekan. Plus, karena komunikasinya via Internet semua, budget komunikasi Internet ini juga harus dimasukkan.

Itu belum termasuk budget marketing gimmick berupa kupon diskon dan sejenisnya untuk menjaga loyalitas konsumen yang bergabung di social media.

Ketiga, peluang berhasil.

Kebanyakan brand manager merasakan mudahnya masuk social media karena banyaknya fasilitas untuk membangun komunikasi multiarah baik di Facebook maupun Twitter.

Ditambah lagi, beberapa studi kasus keberhasilan brand mengadopsi social media bertebaran di mana-mana. Dell dan Starbucks selalu menjadi inspirasi banyak brand manager untuk mendulang sukses yang sama di social media.

Sayangnya, kita melupakan faktor penting yang mendorong keberhasilan dua merek kondang itu. Salah satu faktor terpenting adalah: kedua brand itu sudah terbiasa bercakap-cakap dengan konsumennya baik di offline maupun di dunia maya.

Dell misalnya, sejak awal berdirinya dirancang sebagai satu-satunya produsen komputer yang bisa menyediakan spesifikasi komputer apapun yang “dirancang” pembelinya via online. Percakapan online sudah terjadi sejak awal. Kemudian Dell menciptakan komunitas pengguna Dell, membangun komunikasi horizontal antarpengguna melalui IdeaStorm, agar konsumen bisa saling berbagi gagasan yang kemudian dieksekusi Dell. Itu terjadi sebelum Facebook dan Twitter mewabah di mana-mana.  Kesuksesan Dell inilah yang kemudian dicoba diimplementasikan oleh Starbucks melalui Starbucks Ideas.

Kedua merek kondang itu sudah terbiasa bercakap-cakap dengan konsumennya sebelum masuk ke social media! Maka begitu mereka masuk ke social media, hasilnya luar biasa.

Permasalahannya, banyak brand di Indonesia yang tidak biasa atau bahkan tidak pernah bercakap-cakap dengan konsumennya, tiba-tiba ingin masuk ke social media dan berharap sukses.

Berkaca dari pengalaman Starbucks dan Dell yang memang sudah biasa bercakap dengan konsumennya SEBELUM  masuk ke social media, kita bisa menduga bahwa peluang sukses brand yang tidak biasa berkomunikasi dengan konsumennya sebelumnya akan sangat kecil. Untuk memperbesar peluangnya, perlu usaha dan budget yang lebih besar.

Itu sebabnya, saya mengatakan, brand jangan “bermain-main” di social media. Jika ingin ke social media, seriuslah. Siapkan manajemen dan budget, serta analisa dengan baik bagaimana pola komunikasi dengan konsumen selama ini sehingga mendapatkan strategi yang tepat ketika masuk ke social media.


dikutip dari : http://virtual.co.id/blog/cyberpr/brand-jangan-bermain-main-di-social-media/

Read more

Tentang Creativepreneurship



Tulisan ini menyambung tulisan sebelumnya tentang Kopdar Pertama Belajar Kreatif. Saat itu yang rajin menulis blog ini ikut bercerita tentang pengalamannya mengembangkan perusahaan berbasis kreatif bernama Stratego dan lalu forum FreSh. Semuanya dijabarkan dalam beberapa poin, yang mudah-mudahan bisa menjadi tips bermanfaat bagi yang mendengarkannya.

Poin-poin tersebut bisa disimak di salindia presentasi berikut ini:

Idea

Ide adalah jelas modal utama bisnis berbasis kreatif. Nggak ada ide, ya nggak akan kreatif. Klien membayar kita untuk memberikan solusi. Makanya, kita yang harus memutar otak, mencari inspirasi, mencoret-coret, mencari data, yang bisa menjawab permintaan klien. Semua perusahaan kreatif mengandalkan ide sebgai basis utamanya. Tanpa ide nggak akan tergores tulisan di majalah. Tanpa ide nggak akan sebuah musik bisa tercipta. Tanpa ide nggak akan ada aplikasi web dan multimedia canggih. Ada banyak ide bermunculan datang dan pergi. Ide yang berhasil adalah yang bisa dipakai untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Saat kita berhasil memberikan solusi, saat itulah ide itu kita anggap berhasil.

Passion

Seperti Pak Nukman cerita di tulisannya, dalam berbisnis atau bekerja atau belajar, kita harus punya passion. Passion tidak akan pernah redam sampai apa yang kita inginkan tercapai. Kalau tiba-tiba kita merasa jenuh, sebaiknya kita mempertanyakan pada diri kita sendiri, benarkah jalan ini yang ingin kita tempuh? Kalau memang kita benar-benar passion akan yang kita kerjakan, kita tak akan pernah jenuh. Bisa jadi kita kelelahan, tapi itu tetap tak akan mengendurkan semangat kita dalam berusaha.

Partnership

Bekerjasamalah dengan seseorang yang kita benar-benar percaya. Berpartner akan meringankan beban pikiran, apalagi kalau yang dijadikan partner adalah orang yang benar-benar sudah klop dengan kita, yang bisa saling menutupi kekurangan lainnya. Selain itu, beraliansilah dengan rekan-rekan perusahaan lain. Tidak melulu semua kegiatan produksi kita kerjakan sendiri. Carilah rekanan yang punya prestasi bagus (atau setidaknya punya potensi untuk itu). Bangun kerja sama agar bisa saling menguntungkan satu dengan lainnya.

State your goals

Dalam melakukan setiap tindakan harus punya tujuan, supaya kita bisa mengukur tingkat pencapaian kita sejauh apa. Kita bisa tentukan per bulan, per 6 bulan, atau per tahun. Tingkat pencapaian bisa berupa target pemasukan, target akuisisi klien, atau target jumlah pekerjaan yang berhasil diselesaikan.

Be unique

Ada banyak perusahaan berbasis kreatif. Banyak di antaranya yang mirip. Kita harus menemukan keunikan kita sendiri. Keunikan yang membuat kita mudah diingat, dan bahkan menjadi keunggulan kita di antara lainnya.

Proactive in finding opportunity

Menunggu diam saja tanpa bergerak tidak akan menghasilkan apa-apa, apalagi kalau kita baru memulai usaha. Bergeraklah! Buat materi presentasi yang menarik, kontak semua relasi, cari relasi baru di beragam acara, kalau perlu telpon-telpon calon prospek, dan ajukan presentasi langsung ke mereka. Bangun hubungan personal dengan teman-teman baru, agar nama kita semakin teringat di benak mereka. Siapa tahu nanti mereka yang memberikan peluang proyek kepada kita.

Rate yourself

Tentukan harga dari jasa kita sendiri. Bedakan antara harga produksi dan harga kreatif. Bisa jadi harga produksi suatu harga yang tetap dan kurang lebih sama dengan para pesain kita. Harga kreatif bisa jadi berbeda, karena nilai ide itu bisa tidak ada batasnya. Tentunya pengalaman pun ikut menjadi penentu harga. Kalau misalnya, kita menghargai ide kita 15 juta rupiah karena pengalaman kita yang cukup tinggi, ya jangan menerima penawaran lebih rendah dari itu. Beranilah menolak klien saat kita ditawar lebih rendah daripada harga kita sepatutnya.

Diversify

Ada istilah palugada (apa lu mau gua ada). Nggak salah juga, setidaknya saat-saat awal kita memulai usaha. Peluang nggak akan muncul dua kali. Kalau misalnya kita hanya terfokus pada 1-2 bisnis kreatif saja, saat ada yang menawarkan peluang proyek yang agak berbeda dari yang biasa kita lakukan, jangan takut untuk mengambilnya. Kita bisa mengerjakannya dengan beraliansi dengan rekanan lain. Karena, siapa tahu gara-gara kita mengambil peluang ini, kita malah bisa mengerjakan hal-hal lain dari klien sama di masa datang.



Be social

Banyaklah memberi setelah banyak menerima. Kalau kita sudah punya pengalaman, jangan ragu untuk membaginya ke orang lain. Bisa itu berupa tulisan di blog, berbicara jadi seminar, menulis buku, atau apapun. Saat kita membagi pengalaman, kita pun secara tidak langsung akan dilihat sebagai seorang yang kompeten, yang secara tidak langsung akan membuat nilai diri kita menjadi semakin meningkat.

Be a multitasker

Nah, saat memulai bisnis, jangan merasa malu menjadi seorang yang harus serba bisa. Bisa mendesain, bisa mengonsep, bisa berjualan di telpon, bisa menjadi kurir, bisa menjadi tukang tagih, bisa menjadi office boy, bisa menjadi tukang jaga pameran, bisa menjadi tukang, dan bisa bisa lainnya. Seseorang yang memulai bisnis multimedia dan berlatar belakang desain, jangan ragu untuk mulai belajar pemrograman, demikian sebaliknya. Seseorang yang biasanya di balik layar karena mengurusi produksi, harus berani bertatap muka langsung dengan klien dan ikut presentasi dan diskusi.

Trusted troops

Kalau pekerjaan multitasking sudah tak sanggup lagi dilakukan, percayakanlah sebagian beban ke orang-orang yang kita percayai. Biarkan mereka yang mengurusi, namun tentunya masih dalam pantauan kita. Kalau khawatir overhead bulanan membengkak, bentuklah pasukan tenaga freelance yang siap membantu kita lepasan hanya setiap ada proyek.

E-narcism

Sekarang era social media. Kita tidak dianggap eksis kalau kita tidak punya blog atau profil Facebook. Manfaatkan blog untuk bercerita tentang pengalaman dan kompetensi yang kita punya. Manfaatkan Facebook dan LinkedIn untuk membangun jaringan bisnis. Manfaatkan YouTube dan DeviantArt untuk memamerkan karya-karya kita. Manfaatkan Twitter dan Plurk untuk menceritakan hal-hal yang fun dari pekerjaan kita.

Sharing is good

Sekali lagi, berbagi pengetahuan dan pengalaman itu menguntungkan. Ilmu kita tidak akan hilang, justru kita akan dipaksa untuk belajar hal baru, agar kita bisa lebih unggul daripada yang lain. Namun, juga jangan kebablasan. Bila ada hal-hal yang saat ini masih menjadi keunggulan kita, ya jangan dibeberkan terlalu cepat. Saat kita sudah merasa cukup menuai hasilnya, bolehlah pengetahuan tentang hal itu kita bagi ke yang lain.

Never stops learning

Kita tidak boleh berhenti belajar, karena kita perlu membuat inovasi-inovasi baru. Sempatkan waktu untuk bereksperimen mencoba hal-hal baru. Siapa tahu di antara eksperimen kita itu malah membuahkan pemikiran baru yang menjadi keunggulan kreatif kita selanjutnya.



Prepare for rejection

Jadi pebisnis kreatif nggak selamanya enak. Harus sering pula merasakan kepedihan ditolak klien. Harus sering pula merasakan ikut tender atau pitch yang dibuat dengan melelahkan, lalu tidak menang. Jadi siap-siap saja menerima berbagai penolakan, baik yang disampaikan baik-baik atau yang paling tidak mengenakkan, tidak dikabari sama sekali. Sudah sering terjadi calon klien minta kita menyiapkan pitch, tapi tidak pernah memberi kabar apakah pitch kita diterima atau tidak.

Poorer than your friends?

Nah, seperti para pebisnis lainnya, siap-siaplah jatuh miskin. Ini bagian yang suka dilewatkan. Katanya berbisnis itu menguntungkan? Memang benar, tapi tidak dalam waktu singkat. Sebelumnya harus melalui masa-masa penderitaan. Bisa jadi saat kita berkumpul dengan teman-teman alumni, kitalah yang saat itu paling miskin. Ada yang sudah menjabat sebagai manajer senior di perusahaan tertentu, sementara kita masih mengais-ngais mencari peluang bisnis. Namun, kalau dilakukan dengan serius dan benar, dalam 2-3 tahun, bisa jadi (penekanan pada bisa jadi loh) kita lebih makmur daripada mereka. Atau, bisa jadi pula kita semakin melarat dibandingkan mereka.

Boring administration

Salah satu hal yang membuat malas adalah urusan administrasi. Karena kita terbiasa berpikir kreatif, memanfaatkan otak kanan kita untuk berkreasi, begitu kita berhadapan dengan hal-hal yang bersifat administratif, kita menjadi malas. Memang jujur saja, hal tersebut memang menjemukkan, namun mau tidak mau harus kita hadapi, seperti penyusunan proposal harga, penagihan, hingga mengurus pajak,

Time to start?

Sekarang tinggal pilih, mau mulai membangun bisnis kreatif sejak baru lulus, atau bekerja dulu pada perusahaan lain, baru keluar untuk membangun bisnis sendiri. Saat baru lulus, biasanya idealisme kita masih tinggi, dan keinginan untuk membuat sesuatu yang baru sangat besar. Bisa jadi kita punya keunggulan lebih dalam hal kompetensi, namun sayangnya jaringan bisnis kita belum luas, dan kita tak punya modal sama sekali. Kita butuh perjuangan ekstra untuk membentuk jaringan rekanan dan klien. Kalau kita terlebih dahulu bekerja dengan orang lain, setidaknya kita punya tabungan dan jaringan bisa kita mulai bangun dari tempat kita bekerja. Kelemahannya, bisa jadi kita menjadi terlalu nyaman berada di sana, sehingga semakin lama semakin sulit untuk keluar. Bisa jadi kebiasaan kita menerima gaji setiap bulan memberikan ketakutan tersendiri akan masa depan yang tak pasti, saat kita membangun usaha sendiri.


Dikutip dari: http://media-ide.bajingloncat.com/2009/07/04/tentang-creativepreneurship/

Read more

Saat Brand Berkampanye Melalui Channel Social Media




(Marketing)Sampai sekitar 3 tahun lalu, saat portal informasi masih menjadi tujuan utama pengguna internet Indonesia, pola berkampanye brand di ranah daring masih menggunakan pola sama. E-Advertising mereka lakukan dengan cara memasang iklan brand di spot-spot portal dan membayar sewa spot itu selama minimal sebulan. Tak beda dengan apa yang brand lakukan di media cetak dan televisi. Sekeren-kerennya desain brand, informasi yang disampaikan masih tetap satu arah, dari produsen ke konsumen.


Perkembangan selanjutnya, desain brand semakin interaktif, dengan perkembangan rich media banner. Pengguna bisa berinteraksi, bermain game, mengirim data via form di dalam brand, dan mendapatkan pengalaman lebih dari sekedar menatap pasif iklan. Bahkan ada beberapa situs yang menawarkan untuk mengubah desain tampilan portal agar relevan dengan tema kampanye brand.

Meski dengan rich media banner, interaksi terasa lebih kaya, namun pesan yang diberikan masih dominan disampaikan oleh brand. Pengguna belum bisa merasakan pengalaman yang membuat iklan yang disampaikan itu menjadi terasa lebih personalized. Tidak ada yang membuatnya menjadi khas sesuai keinginan pengguna. Kalau diizinkan, E-Advertising era masa ini bolehlah disebut sebagai era E-Advertising 1.0. Komunikasi yang terjadi masih cenderung satu arah, bersifat top-down.

Saat blog tumbuh pesat dan gaungnya membesar sejak tahun 2007, brand secara perlahan-lahan mulai melirik ini sebagai salah satu channel potensial. Meski masih meraba-raba, beberapa brand ternama mulai mencoba meraih atensi para narablog (blogger). Sebutlah PT Toyota-Astra Motor, sebagai brand pertama yang menyelenggarakan gathering makan siang bersama para narablog. Karena ini merupakan hal baru, para narablog pun antusias menghadiri acara dan melakukan reportase tulisan di blognya. Ada pula yang mengadakan kompetisi blog, dengan harapan nama brand itu disebut di banyak blog. Secara tidak langsung para pembaca blog yang ikut dalam kompetisi itu pun aware akan kegiatan brand tersebut.

Sekarang saat Facebook menjadi situs yang paling banyak dikunjungi pengguna internet Indonesia, pola kampanye brand pun semakin bergeser. Istilah social media marketing pun mulai dikenal. Kalau dahulu brand berkampanye dengan membuat situsnya sendiri, kini tak lengkap kalau kampanye itu tak terintegrasi dengan Facebook. Bahkan kini ada brand seperti BNI yang hanya berkampanye di dalam Facebook, tanpa membuat situs kampanye tersendiri. Kalau dulu pengunjung diminta untuk datang ke situs kampanye brand, kini eranya brand yang mendatangi dimana para pengguna internet biasa berkumpul.

Melalui blog, Facebook, lalu Twitter dan YouTube, setiap program kampanye dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi pengalaman unik setiap individu yang berpartisipasi. Dari sisi pengguna pun terasa lebih nyaman, karena mereka lalu tidak melihatnya seperti iklan. Mereka melihatnya sebagai salah satu fungsi yang umumnya mereka lihat saat sehari-harinya mereka beraktivitas di social media. Apalagi kalau program yang dilakukan brand menunjang E-Narcism mereka. Iklan terlihat lebih halus, dan lebih disukai para targetnya. Melalui kampanye seperti ini pun, brand bisa terlibat dalam percakapan dengan para penggunanya. Brand tentu harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi, karena percakapan tak bisa dikendalikan sepenuhnya lagi oleh brand. Nah, kalau diizinkan lagi, E-Advertising era masa ini bolehlah disebut sebagai era E-Advertising 2.0. 

E-Advertising 1.0 bersifat satu arah, hanya dari brand menuju konsumen, sementara E-Advertising 2.0 bersifat dua arah. Konsumen yang terlibat dalam percakapan dengan brand menyebarkannya ke teman-temannya yang lalu ikut pula melibatkan diri dalam percakapan dengan brand.

Baca juga tulisan tentang E-Cosystem untuk mendapatkan gambaran skematik besarnya.


Dikutip dari: http://media-ide.bajingloncat.com/2009/07/08/saat-brand-berkampanye-melalui-channel-social-media/

Read more